Korban Lumpur Lapindo Jadi Miliarder?
Menurut Ical, dari 12 ribu kepala keluarga korban semburan lumpur, sebanyak 11.920 di antaranya sudah selesai. Sedangkan untuk 80 orang sisanya belum dibayarkan karena tidak setuju dengan program tersebut. Benarkah demikian? Fakta di lapangan ternyata berbicara lain. Menurut pendamping korban lumpur Paring Waluyo, dari 13.200 warga yang rumahnya tenggelam, baru 55 persen yang telah dibayar lunas. Sedangkan yang 45 persen dan sebagian warga desa lainnya belum dibayar lunas.
Jumlah korban lumpur yang menderita bukanlah sekadar angka-angka statistik. Adalah Mbok Jumik, pengungsi korban lumpur di Sidoarjo, yang harus meninggalkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo karena tidak sanggup membayar biaya rumah sakit. Mbok Jumik adalah perempuan berusia 52 tahun. Pada Minggu, 30 November 2008, Mbok Jumik mengembuskan napas terakhir. Ia meninggal dengan tetap menyandang status sebagai korban lumpur.
Sebelumnya, tepatnya pada Juni 2008, Mbok Jumik mulai merasakan sakit luar biasa di perutnya. Pada saat itu keluarga Mbok Jumik membawanya ke RSUD Sidoarjo. Sekitar dua minggu Mbok Jumik dirawat di rumah sakit. Namun, karena tak mampu membiayai ongkos rumah sakit, keluarga Mbok Jumik membawanya pulang ke pengungsian korban lumpur di Pasar Baru Porong. Hingga pada akhirnya Mbok Jumik meninggal di pengungsian. Jika korban lumpur telah menjadi miliarder, mungkin Mbok Jumik tidak akan mengalami nasib yang tragis seperti itu.
Entah mengapa Ical selalu saja membela posisi Lapindo dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo? Padahal, di beberapa media massa, ia mengatakan sudah tidak lagi turut campur dalam urusan bisnis Grup Bakrie, apalagi Lapindo. Di Jakarta, mungkin dengan tanpa beban Ical bisa mengatakan bahwa korban lumpur telah hidup sejahtera, bahkan telah menjadi miliarder. Namun, kenyataannya di Porong, Sidoarjo, kondisi kian gawat. Persoalan korban lumpur bukan sekadar kehilangan rumah dan tanah. Kini, setiap hari warga Porong harus senantiasa bersiap menjadi pengungsi di kampungnya sendiri. Bagaimana tidak, dampak buruk semburan lumpur Lapindo kian meluas dan tak terkendali.
Di kawasan Porong, kini telah terjadi penurunan tanah yang membahayakan konstruksi rumah. Rumah yang semula tidak tenggelam oleh lumpur pun teran
cam roboh. Hidup dalam kondisi darurat. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi warga Porong saat ini. Bukan hanya penurunan tanah. Gas liar yang mudah terbakar pun muncul di kawasan itu. Menjelang Idul Fitri tahun 2010, dua warga Porong telah menjadi korban semburan gas liar itu. Kedua orang itu adalah Purwaningsih dan Dedy Purbianto. Semburan gas liar yang mengandung metan dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh mereka.
Bukan hanya itu, sejak muncul semburan lumpur pada 2006, warga Porong pun harus menghirup udara beracun setiap hari. Temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengungkapkan adanya peningkatan jumlah orang yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Porong. Pada 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, tapi pada 2008 silam meningkat menjadi 46 ribu orang. Celakanya, warga Porong tidak cukup memiliki uang untuk menanggung biaya kesehatan dan keselamatan jiwanya. Mereka telah lama kehilangan mata pencarian. Terkait dengan hal itulah pernyataan yang mengatakan bahwa korban Lapindo telah menjadi miliarder berpotensi menambah luka di hati warga Porong yang kini hidup dalam kondisi darurat kemanusiaan. Ironisnya lagi, pemerintah ataupun Lapindo sulit dimintai pertanggungjawaban atas penderitaan warga Porong selama hampir lima tahun terakhir ini.
Bagaimana tidak, hingga kini kedua pihak itu masih yakin bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam dan tidak terkait dengan aktivitas pengeboran. Dengan keyakinan seperti itu, mereka mengira, bila persoalan ganti rugi yang kemudian dibelokkan menjadi jual-beli aset itu sudah selesai, selesai pula penderitaan korban lumpur.
Baik pemerintah maupun Lapindo tidak peduli bahwa mayoritas para pakar pengeboran internasional, dokumen rahasia Medco, dan hasil audit BPK dengan jelas menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo terkait dengan pengeboran. Bahkan mantan Ketua BPK, Prof Anwar Nasution, dalam presentasinya tentang kasus Lapindo menyebut kasus itu sebagai A Case of State’s Failure to Control Corporate Greed, atau kegagalan negara dalam melakukan kontrol terhadap keserakahan korporasi.
Mungkin Pak Ical dan juga para pejabat tinggi di negeri ini belum pernah dan tidak akan pernah sama sekali merasakan penderitaan panjang korban lumpur Lapindo. Korban lumpur Lapindo telah kehilangan hampir semua yang dimilikinya. Penderitaan mereka telah melewati batas-batas kewajaran. Padahal warga Porong juga manusia seperti kita. Mereka berhak hidup layak seperti warga negara lainnya. Tidak pantas rasanya kita membuat luka hati mereka semakin menganga akibat pernyataanpernyataan kita yang tak terjaga.
0 komentar:
Posting Komentar